Syirkah dan Mudharabah
2.1 Pengertian Syirkah
Secara
etimologis syirkah berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu
harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya.
Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat Islam untuk sebuah transaksi
perkongsian dalam dunia bisnis.[1]
Adapun
menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara
dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2]
2.2 Hukum Syirkah:
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan
berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalil-dalilnya, di antaranya:
A.
Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala: “Dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad:
24).
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan
perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta.
Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis
karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad
(transaksi).
B.
Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.”
(HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
C.
Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).
2.3 Rukun syirkah
Menurut mayoritas ulama
fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
1. Akad
(ijab-kabul), disebut juga shighat.
2. Dua
pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan
tasharruf (pengelolaan harta).
3. Obyek
akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan
atau modal (al-mâl).[3]
Adapun syarat sah akad ada 2
(dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa
tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad,
misalnya akad jual-beli.
2. Obyek akadnya dapat
diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara
para syarîk (mitra usaha).
2.4 Macam-Macam Syirkah:
Adapun macam-macam syirkah
adalah sebagai berikut :
1. Syirkah Amlaak
(Hak Milik)
Yaitu
penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang
berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui
transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah
seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia
tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.[4]
Syirkah amlaak dibagi
kedalam dua bentuk yaitu:
1. Syirkah
ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ).
Yaitu
perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti
dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah,
wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian
hibah, hibah, wasiat, wakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat.
Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan,
diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka
berdua.
2. Syirkah
jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat
).
Yaitu
sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari
mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta
itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
Dalam
kedua bentuk syirkah Amlaak, menurut para pakar fiqh, status harta
masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat
berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum
terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang
tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya.
Hukum yang terkait dengan syirkah amlaak ini dibahas oleh para ulama fiqh
secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
Contoh:
Si A dan si B diberi wasiat
atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau
membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka
mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[5]
2. Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu
akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan,
misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Dalam syirkah seperti ini,
pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa
masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika
yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
Adapaun macam-Macam Syirkah
Uquud (Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian para
ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam
terdapat lima macam syarikah yaitu:
(1) syirkah al- inân.
(2) syirkah al-abdân.
(3) syirkah al-mudhârabah.
(4) syirkah al-wujûh.
(5) syirkah al-mufâwadhah.
Menurut
ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam,
yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut
Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang
telah ditetapkan.[6]
1.
Syirkah
al-‘Inaan.
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk
dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau
salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak
daripada rekannya.
Jenis
syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak
disyaratkan adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab. Dan hukum syirkah
ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnu al-Mundzir.[7]
Contoh syirkah inân:
A dan B pengrajin atau
tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan
menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50
juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana
kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ
Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur
Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
2.
Syirkah
al-Mudharabah
Yaitu,
seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola
(mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat persentase tertentu
dari keuntungan.
3.
Syirkah
al-Wujuuh
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik
serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari
suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang
didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.[8] Disebut syirkah wujûh
karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah
masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik,
sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya:
A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan persentase barang
dagangan yang dimiliki, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
4.
Syirkah
al-Abdaan (syirkah usaha)
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh
mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di klinik, atau
sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang
kayu dan tukang besi.[9] Namun, disyaratkan bahwa
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. Keuntungan yang diperoleh
dibagi berdasarkan kesepakatan, nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama
di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Contohnya:
A dan B. keduanya adalah
nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula,
jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdan hukumnya
boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,
ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi
Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud,
An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
5.
Syirkah
al-Mufawadhah
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah
Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua
anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan,
abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk
mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut,
seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga
kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam
segala hal. Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan
dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab,
beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. [10]
Adapun
keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung
oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung
mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujûh).
Contohnya:
A adalah pemodal,
berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya
sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya
yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing
ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan
modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah
mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di
samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C.
Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan
demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah
yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
2.5 Pengertian Mudharabah
Di zaman nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut
Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah.
Mudharabah adalah
akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu
dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan
keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.[11] Hal ini
diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari
Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu: “Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam,
dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau
memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering),
jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya
melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin
harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia
menjamin orang yang mengerjakannya.
Bagaimana
sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam? Apa saja persyaratan yang harus
terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?
2.6
Hukum Mudharabah
Mudharabah hukumnya di perbolehkan berdasarkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalil-dalilnya, di antaranya:
A.
Al-Qur’an:
1.
Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan
ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah..”.(QS.
al-Muzzammil: 20)
2.
Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)
B.
Hadits:
Ibnu
Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul
Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi
lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika
persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.” (HR.
Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111)
C.
Ijma:
Diriwayatkan, sejumlah sahabat
menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan
tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai
ijma’.[12]
2.7 Rukun Mudharabah
Al-Mudharabah (bagi hasil)
memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:
1. Al-Mudhaarib (pemilik
modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
2. Shighatul-aqd (yaitu
ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
3. Ra’sul-maal (modal)
4. Al-‘Amal (pekerjaan)
5. Ar-Ribh (keuntungan)
Di
dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal)
kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan
kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari
keuntungan bersih (ar-ribh).
1. Investor dan Pengusaha
Investor dan pengusaha
adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta
dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila,
anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh
pengadilan dan lain-lain.
Anak yang belum baligh
tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada
perselisihan pendapat dalam hal ini.
2. Akad
Akad Al-Mudharabah
membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak
diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan.
Oleh karena itu, ijab-qabul
(serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:
a. Adanya
kesepakatan jenis usaha
b. Adanya
keridhaan dari kedua belah pihak
c. Diucapkan
atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor
maupun pengusaha
Karena akad ini adalah akad
kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang
lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang
telah dipercayakan kepadanya.
3. Modal
Para ulama mensyaratkan
empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:
a. Harus
berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang
Para
ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka
berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai
dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut
diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi
hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat
dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.
Sebagai
contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek
untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu
tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp
40 juta.
b. Harus
nyata ada dan bukan hutang
Seorang
investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi
itu hutang saya dan nanti saya bayar.”
c. Harus
diketahui nilai harta tersebut
Modal
yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan
ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen
dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus
dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80
juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan
masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil
ketika mendapatkan keuntungan.
d. Harus
diserahkan kepada pengusaha
Modal
dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa
diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.
4. Jenis Usaha
Tidak ada pembatasan jenis
usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan,
eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha
tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.
5. Keuntungan
Para ulama mensyaratkan tiga
syarat dalam pembagian keuntungan antara lain yaitu :
a. Harus
ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil
keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.
b. Harus
dipersentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha
Keuntungan
yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%,
50% - 50%, 60% - 40%, 5 % - 95% atau 95% - 5%. Hal ini harus ditetapkan dari
awal akad.
Tidak
diperkenankan membagi keuntungan 0% - 100% atau 100% - 0%.
Besar
prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah
pihak.
c. Keuntungan
hanya untuk kedua belah pihak
Tidak
boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan persentase
tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan,
“Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya
tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang
dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam
prosentase keuntungan.
Kapankah pembagian
keuntungan dianggap benar?
Keuntungan
didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal
investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan
apa-apa.
Oleh karena itu,
Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak.
Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak
mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.
Sebagai
contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal,
maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha
tidak mendapatkan apa-apa.
Apakah boleh
pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?
Apabila
hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal
tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang
transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal
tersebut tidak mengapa.
Tetapi
jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan. Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka
usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha
mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui
apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.
Di
dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka
kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor
kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila
terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila
pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan
amanah.
Investor bisa menuntut
pengusaha apabila ternyata pengusaha:
1. Tafrith (menyepelekan
bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan
modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
2. Ta’addi (menggunakan
harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun
rumah, untuk menikah dll.
2.7 Macam-macam
Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi
yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad
mudharabah kepada dua bentuk, yaitu :
1. Mudharabah
muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan).
Dalam mudharabah muqayyadah, pekerja
mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya,
pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
2. Mudharabah
muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu).
Dalam
mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama
profitable.
Jika suatu akad mudharabah
telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
1. Modal ditangan pekerja
berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual
beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2. Apabila akad ini
berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama
profitable.
3. Jika kerja sama itu
menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya,
tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan
apa-apa.
[1] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, Juz IV, Darul Fikri, Beirut, 1989, hlm.3875
[2] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi
II/253
[3] Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah,
Abdurrahman al-Jaziri
[4]
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601
[5]
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu,
karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794
[6]
Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795
[7] Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu,
karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796
[8]
Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77
[9]
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260
[10] Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu,
karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/259-260
[11] Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq
III/220
[12] al-Fiqhu al-Islami wa
Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838