Saturday, March 14, 2015

Manajemen Modal Ventura

Syirkah dan Mudharabah
2.1 Pengertian Syirkah
Secara etimologis syirkah berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduanya. Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat Islam untuk sebuah transaksi perkongsian dalam dunia bisnis.[1]
Adapun menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2]

2.2 Hukum Syirkah:
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
A.    Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

B.     Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).

C.    Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).
2.3 Rukun syirkah
Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
1.      Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat.
2.      Dua pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
3.      Obyek akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan atau modal (al-mâl).[3]
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

2.4 Macam-Macam Syirkah:
Adapun macam-macam syirkah adalah sebagai berikut :
1. Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.[4]

Syirkah amlaak dibagi kedalam dua bentuk yaitu:
1.      Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ).
Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, wakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
2.      Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat ).
Yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
   
Dalam kedua bentuk syirkah Amlaak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah amlaak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.

Contoh:
Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[5]

2. Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

Adapaun macam-Macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah yaitu:
(1) syirkah al- inân.
(2) syirkah al-abdân.
(3) syirkah al-mudhârabah.
(4) syirkah al-wujûh.
(5) syirkah al-mufâwadhah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan.[6]

1.      Syirkah al-‘Inaan.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.
Jenis syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab. Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.[7]

Contoh syirkah inân:
A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”

2.      Syirkah al-Mudharabah
Yaitu, seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat persentase tertentu dari keuntungan.

3.      Syirkah al-Wujuuh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.[8] Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.

Contohnya:
A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.

4.      Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang besi.[9] Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Contohnya:
A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

5.      Syirkah al-Mufawadhah
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal. Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. [10]
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contohnya:
A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

2.5  Pengertian Mudharabah
Di zaman nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah.  Mudharabah adalah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.[11] Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu: “Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.
Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?
2.6 Hukum Mudharabah
Mudharabah hukumnya di perbolehkan berdasarkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:

A.    Al-Qur’an:
1.      Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”.(QS. al-Muzzammil: 20)
2.      Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)

B.     Hadits:
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111)

C.    Ijma:
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.[12]
2.7 Rukun Mudharabah
Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:
1. Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
2. Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
3. Ra’sul-maal (modal)
4. Al-‘Amal (pekerjaan)
5. Ar-Ribh (keuntungan)
Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

1. Investor dan Pengusaha
Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.
Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

2. Akad
Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan.
Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:
a.       Adanya kesepakatan jenis usaha
b.      Adanya keridhaan dari kedua belah pihak
c.       Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha
Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

3. Modal
Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:
a.       Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang
Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.
Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.
b.      Harus nyata ada dan bukan hutang
Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”
c.       Harus diketahui nilai harta tersebut
Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.
d.      Harus diserahkan kepada pengusaha
Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

4. Jenis Usaha
Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

5. Keuntungan
Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan antara lain yaitu :
a.       Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.
b.      Harus dipersentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha
Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% - 50%, 60% - 40%, 5 % - 95% atau 95% - 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.
Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% - 100% atau 100% - 0%.
Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
c.       Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak
Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan persentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?
Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.
Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.
Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?
Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.
Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.
Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.
Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:
1. Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
2. Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

2.7 Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu :
1.      Mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan).
Dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
2.      Mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu).
Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable.

Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
3. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.





[1] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV, Darul Fikri, Beirut, 1989, hlm.3875
[2] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253
[3] Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri
[4] Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601
[5] Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794
[6] Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795
[7] Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796
[8] Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77
[9] Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260
[10] Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/259-260
[11] Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220
[12] al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily,  4/838